Sunday, November 20, 2005

Siapapun ENgkau....


eramuslim - Sepotong syair Ebiet G. Ade dalam nyanyian
cintanya "Sebening Embun" membawa ingatan saya pada
sepasang suami-istri, sahabat saya. Memandang
perjalanan pernikahan mereka, seperti menatap
beningnya embun pagi. Damai dan indah.

Cinta mereka bukanlah cinta yang membara di awal
jumpa. Tanpa proses cinta-cintaan seperti laiknya
sepasang remaja, mereka cuma diikatkan oleh tujuan
nikah sebagai ibadah. Semua menjadi sederhana dalam
ketaatan pada Tuhannya. Dengan itulah mereka mampu
menyatukan hati setelah pernikahan.

Si istri adalah seorang wanita yang cerdas dan
mandiri. Karirnya sebagai seorang professional muda
menanjak terus. Sejak sebelum menikah, ia memang cukup
ambisius. Maka setelah ia menikah pada usia hampir
tiga puluh, ia tak jadi surut dalam membina karir.
Sementara itu, selayaknya orang-orang yang bergerak di
kehumasan, ia pun punya banyak teman dan memiliki
society sendiri.

Sementara si suami juga seorang yang cerdas. Dengan
modal itulah ia tekun mengabdikan dirinya pada dunia
penelitian dan pendidikan. Cenderung pendiam, si suami
lebih suka membaca dan 'menyepi' di rumah ketimbang
bicara-bicara dan making friends.

Secara sifat-sifat pun, mereka amat bertolak belakang.
Si istri cenderung ekspresif, sedang suaminya pasif.
Si istri tidak sabaran dan maunya serba cepat, sedang
suaminya bertolak belakang. Sang suami sepertinya
banyak memberi jalan bagi istrinya yang 'whirlwind'
ini.

Tapi lihatlah bagaimana kemudian saya menjadi
terkagum-kagum pada pasangan ini.

Sang istri amat menghargai suaminya. Tak pernah
sekalipun ia menceritakan yang jelek tentangnya.
Kebanggaannya terhadap belahan hatinya terlihat tidak
hanya lewat lisan, tapi juga lewat sikap. Dukungan tak
habis-habisnya ia berikan buat sang suami.

Demikian pula sang suami, yang secara pendapatan per
bulan, lebih kecil dari istrinya. Tak sekalipun ia
memperlihatkan sikap berat atas kemajuan karir sang
istri. Dan sungguh, ia pun tak mampu menyembunyikan
kebanggaannya pada sang istri.

Di lain pihak, mereka adalah teman diskusi yang cocok.
Semua hal bisa jadi bahan diskusi, dan ramai. Mereka
juga ayah dan ibu yang 'cerdas' bagi putri kecil
mereka yang baru dua tahun. Mereka juga sepasang
kekasih yang romantis dan penuh cinta. Dan di atas
segalanya, mereka adalah sepasang hamba Allah yang
senang berlomba mencapai tingkat keimanan yang lebih
tinggi.

Saya yakin, mereka bukanlah tak pernah 'ribut'. Mereka
toh manusia biasa yang pasti bisa khilaf. Dan memang
benar, mereka mengakui hal itu. Tapi bagaimana bisa
kemudian mereka menambal khilaf-khilaf itu sehingga
tak jadi bolong-bolong besar?

Jawabannya sederhana: mari menambalnya dengan
ketekunan. Seperti tekunnya ibu kita dulu menambal
selimut-selimut kita yang robek-robek dimakan usia.
Ketekunan adalah proses, butuh waktu, tidak instan.
Ketekunan adalah kesabaran menjalankan proses itu
sendiri untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, suatu
saat kelak.

Saya berangkat menikah dengan keyakinan bahwa Allah
membimbing kami. Allah-lah yang akan menumbuhkan rasa
cinta. Saya sudah punya cukup modal: rasa hormat saya
padanya, sebagai seorang laki-laki yang dengan sepenuh
rasanya mau membagi sisa hidupnya dengan saya.

Saya tahu, saya orangnya cukup sulit, maka bila ada
orang yang dengan sungguh-sungguh mau mendampingi
saya, saya akan salut dan hormat sekali. Dan dia
ternyata orang yang jadi suami saya. Siapa pun dia.

Maka saya ikuti alur prosesnya dengan tekun. Saya
cari, jalani, amati, dan rasakan dengan penuh syukur
setiap kesempatan setelah kami menikah. Siapa tahu ini
jalan Allah untuk mengikatkan hati-hati kami?

Benarlah kiranya, setelah rasa hormat, muncul rasa
syukur untuk seorang suami seperti dia yang dengan
'kelambanan' dan kesabarannya mampu meredakan
eksplosivitas saya. Yang mampu menyiram habis seluruh
amarah saya dan menggantinya dengan ketenangan. Yang
menghargai saya bukan karena saya istri dan ibu
anaknya, tapi karena saya manusia yang butuh
dihargai."

Dari situlah muncullah rasa saying, cinta, dan segala
rasa yang sejenis.

...kasih pun mulai deras mengalir

cemerlang sebening embun...

"Keajaiban terindah yang hadir dalam hidup saya adalah
saya akhirnya dapat membentuk keluarga sendiri. Ada
seorang wanita yang mau jadi istri saya. Meskipun
dengan jujur saya katakan, saya tidak terlalu perduli
siapa pun dia pada awalnya. Yang saya tahu, ia salihat
dan cukup cerdas.

Lalu, hari demi hari, keajaiban itu bergerak
perlahan-lahan. Seperti sebuah proses perjalanan. Ada
seorang wanita yang saya panggil sebagai istri saya.
Yang berusaha pulang kantor lebih awal dari saya. Yang
memilihkan dan menyiapkan segala keperluan saya di
tengah-tengah begitu banyak urusannya. Yang menemani
saya menyiapkan bahan kuliah hingga larut malam.

Dia yang membuat saya merasa dihargai dan dicintai.
Dengan tatap bangganya. Dengan ucapan terima kasih
tulusnya saat menerima uang gaji saya yang tak
seberapa. Dengan kesabarannya mengandung, melahirkan
dan memegang komando pembinaan anak kami.

Saya tahu ia juga sedang belajar berumah tangga,
seperti halnya saya. Saya juga tahu, ia sedang
mengikuti proses di dalam rumah tangga itu seperti
juga saya.

Keyakinan bahwa kami sedang sama-sama belajar
mengikatkan hati dan rasa itulah yang senantiasa
menambah rasa syukur saya. Kami benar-benar beruntung,
karena sama-sama punya semangat yang tekun untuk
membangun cinta kami."

...kasih pun mulai deras mengalir

cemerlang sebening embun ...

Dan sepasang suami istri itu saling menatap. 'Siapapun
engkau, saya yakin engkau adalah yang terbaik dari
Allah untuk saya. Karena bersamamu, saya bisa
sama-sama belajar tekun berproses lebih baik lagi'.
Alhamdulillah.
"Untuk pangeranku, aku ingin beranjak tua bersamamu......atas izin Allah"

From: "anusa"

KITA CERAI SAJA

Saat aku dilamar suamiku, aku merasa bahwa akulah
wanita yang paling beruntung di muka bumi ini.
Bayangkan dari sekian juta wanita di dunia ini, aku
yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku
persempit, dari sekian banyak wanita di negara ini, di
propinsi ini, di kota ini, di rumah ibuku yang anak
perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih
untuk jadi isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan itu.
Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh
pada suami, menjaga kehormatanku sebagai isterinya,
menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anakku menjadi
sholih dan sholihah.
Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku,
sebagai tiket ke surga.
Walaupun begitu... hidup seperti halnya makanan penuh
dengan bumbu. Ada bumbu yang manis, yang pahit, yang
pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya
ketidakcocokan atau selisih paham dengan suamiku, baik
itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham,
hampir sepaham, atau apapunlah itu. Tapi aku tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku mencoba berpikiran
terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang benar
dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku
mencoba bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku
dan membantunya memperbaikinya agar ia merubah
sikapnya. It's all about compromising.
Namun apalah daya... pada akhirnya, terucap pula kata
itu dari bibir suamiku "kita cerai saja!". hanya
karena sebuah masalah kecil yang tanpa sengaja menjadi
besar.
Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di
kepalaku. Arsy pun berguncang untuk ke sekian kalinya.
Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita
paling pilu sedunia. Tak ada yang kupikirkan selain...
yah kita memang harus berpisah!

Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami
sebelumnya... Kita memang sudah nggak cocok!

Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku
lakukan namun lebih sering mengingat
kesalahan-kesalahan suamiku.

Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan
airmataku kering. Hari itu menjadi hari paling
menyedihkan dalam hidupku.

Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya.
Entah kemana ia. Tanpa sadar aku, layaknya aktris
berakting di sinetron-sinetron, memandangi foto-foto
kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati ini.
Andai saja ada lagu Goodbye dari Air Supply yang
mengiringiku, tentu semuanya menjadi scene yang
sempurna.

Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku
teringat pertama kali aku bertemu suamiku, teringat
apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum
kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam
pertamaku. Ha ha ha.

Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini
tertawa, memelukku tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per
satu.... Mereka mirip ayahnya. Aku jadi teringat saat
pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi
ayah. Hhmmm...

Ku lalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya,
menunggu kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih
sayang, suamiku memegang tanganku, mencoba
menenangkanku saat sang khalifah baru lahir, walaupun
kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat
semuanya berakhir walaupun wajahku penuh keringat saat
itu. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk
menggendong bayi mungil itu.

Bersamanya, kubeli tiket ke surga...

"Mi, abi mana?" suara anakku mengejutkan lamunanku.
Tak sanggup kumenjawabnya. Hampir saja aku menangis
lagi.

Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding.
Suamiku datang. Rupanya tadi malam ia tidur di masjid.
Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka berhamburan
menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka
belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia
membawakan makanan untuk mereka.

Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia
menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia
melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa
bersamanya. Mengingat yang telah lewat.

Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang
berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan
hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur
kata-kata agar aku dapat menerima keputusannya.

Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan
padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia
tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal
yang sama.

Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan
padanya bahwa selain dari semua kekuranganku tentu ada
kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya
tentu ada yang disukainya, selain dari semua
ketidakcocokan kita tentu ada bagian yang cocok.

"Bila tidak, apa alasan Abang mau menikahi Dinda dulu?
Dan .. bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama
ini?"

Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir
hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku...

"Allah memang hanya menciptakan Dinda buat Abang...
Maafin Abang ya..."

Kuusap air mata dari pipinya dan ia membaringkan
kepalanya di pangkuanku...

"Maafin Dinda juga ya, Bang..."

Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak
ingin menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku
pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya...


Princess LL

Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha
untuk memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila
tidak ada yang mau berfikir panjang.

(Untuk pangeranku, aku ingin beranjak tua bersamamu...
atas izin Allah)
JODOH & KEDEWASAAN KITA.......

Jodoh adalah problema serius. Kemana pun
mereka melangkah, pertanyaan-
pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi.
Kapan aku menikah? Aku rindu seorang
pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita
muda menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil
ibu? Aku jadi ragu, benarkah aku punya jodoh?
Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam
realita. Kebanyakan orang ketika berbicara soal
jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal
tentang kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu
berpikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah,
di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal
jodoh itu berawal. Pada mulanya, kriteria calon
hanya menjadi 'bagian masalah', namun kemudian
justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.

Di sini orang berlomba mengajukan "standardisasi"
calon: wajah cantik, tampan, rupawan, berpendidikan
tinggi,
wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan,
latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja
kualitas keshalihan.

Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya
ringan, "Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?"
Memang, ada juga jawaban lain, "Saya tidak
pernah menuntut. Yang penting bagi saya calon
yang shalih saja." Sayangnya, jawaban itu
diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai
menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar
senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh
lebih cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki
sifat superior (serba unggul), namun kriteria tidak
pernah menjadi penentu sulit atau mudahnya orang
menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali
menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita
selama ini.

Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih
bergantung pada kedewasaan kita. Banyak orang
merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon
kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-
Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya
sebatas menuntut, tidak tampak bukti
kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah
tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu
indah, bahkan lebih indah dari film-film picisan ala
bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak
memandang bahwa kehidupan keluarga adalah
arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan
napas kesabaran panjang, kadang kegetiran
mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap
menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan
diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan
kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan
beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih
single, lalu dibuai penyakit malas dan manja,
kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan
generasi muda kita menjadi manusia-manusia
yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam
memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal,
namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih
keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus
ideal, mereka menuntut orang lain yang
menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-
ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita
ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi jodoh,
jika kita tidak pernah siap untuk itu? "Tidaklah
Allah membebani seseorang melainkan sekadar
sesuai kesanggupannya


Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh
itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu
hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima
realita kehidupan rumah tangga, manis atau
getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah lagi
bertanya, mana jodohku?
namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?